Peristiwa bencana alam yang sering berulang dan meluas akhir-akhir ini senantiasa bisa melanda setiap daerah di Indonesia tanpa bisa diprediksikan terlebih dahulu. Kondisi geologis Indonesia yang terletak di lingkaran lempeng tektonis dan vulkanis yang teraktif dan terpanjang di dunia, sehingga berisiko tinggi (high risk) terjadi deformasi membuat sebagian besar wilayah di Indonesia rawan gempa bumi berikut bahaya susulan yaitu tsunami yang tak kalah daya rusaknya. Erupsi gunung api aktif yang tersebar di beberapa daerah juga menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat sipil (civil society) di sekitarnya. Di antara bencana alam tersebut yang belakangan mengintai kehidupan warga masyarakat sipil di berbagai daerah di Indonesia adalah banjir dan tanah longsor yang salah satu sebab utamanya terkait dengan kerusakan ekologis yang cukup parah dan kencenderungan kondisi hydrometeorologis yang memburuk karena pemanasan global (global warming). Belum lagi ancaman bahaya lainnya yang juga semakin marak dan masif.
Dalam sepuluh tahun terakhir, bencana demi bencana telah melanda wilayah Indonesia baik bencana alam, nonalam, maupun bencana sosial. Serentetan peristiwa seperti tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, banjir di Jakarta dan sebagian wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, tanah longsor di berbagai daerah, dan Lumpur Lapindo Sidoarjo menunjukan bahwa bencana semakin fenomenal dan terjadi secara susul-menyusul. Demikian pula bencana sosial seperti konflik-konflik yang berlatar belakang etnis di Kalimantan Barat dan KalimantanTengah, konflik antaragama di Poso dan Ambon, dan juga konflik politik menyusul penyelenggaraan Pilkada adalah serentetan yang mengindikasikan bahwa negeri kita rawan bencana.Pemikiran Bencana sebagai ancaman bersama telah menghantui pemikiran Tim FPBI selama melakukan aksi kemanusiaan di berbagai wilayah bencana selama ini.
Bagaimana mengubah pola pemahaman masyarakat bahwa bencana sebagai ancaman bersama. Hal ini dibutuhkan pemahaman lebih dalam dan rumit. Dalam manajemen tanggap darurat yang konvensional, masyarakat dipandang lebih dari aspek ruang: kelompok-kelompok orang yang tinggal di daerah yang sama atau tinggal berdekatan dengan risiko-risiko yang sama. Pandangan ini mengabaikan dimensi-dimensi penting lain dari ‘masyarakat’ yang berkaitan dengan kepentingan, nilai-nilai, kegiatan-kegiatan dan struktur-struktur yang sama. Masyarakat merupakan sesuatu yang kompleks dan seringkali tidak berbentuk satu kesatuan. Di antara orang-orang yang tinggal di suatu daerah yang sama ada perbedaan-perbedaan dalam hal kekayaan, status sosial dan pekerjaan, dan mungkin pula ada pembagian-pembagian lain yang lebih serius di dalam masyarakat. Seseorang dapat menjadi anggota beberapa masyarakat yang berbeda pada saat yang sama, terhubungkan dengan masing-masing masyarakat ini oleh faktor-faktor berbeda seperti tempat tinggal, pekerjaan, status ekonomi, gender, agama atau kesamaan hobi. Masyarakat adalah sesuatu yang dinamis: orang dapat berkumpul bersama untuk tujuan-tujuan tertentu yang sama dan berpisah kembali segera setelah tujuan-tujuan ini tercapai.
Faktor-faktor ini menyebabkan sulit bagi kita untuk mengidentifikasikan dengan jelas ‘masyarakat’ yang kita dampingi. Dari perspektif bahaya, dimensi ruang merupakan suatu unsur yang mendasar dalam mengidentifikasikan masyarakat yang menghadapi risiko, tetapi kesamaan tempat tinggal ini harus dihubungkan dengan pemahaman akan perbedaan-perbedaan, keterkaitan dan dinamika sosial ekonomi di wilayah berisiko tersebut, tidak hanya untuk mengidentifikasikan kelompo-kelompok rawantetapi juga untuk memahami berbagai faktor berbeda yang turut menciptakan kerentanan. Usaha-usaha, layanan-layanan dan infrastruktur masyarakat juga harus turut dipertimbangkan. Keberadaan masyarakat tidaklah terpisah dari lingkungannya. Tingkat ketahanan masyarakat juga dipengaruhi oleh kapasitas di luar masyarakat bersangkutan, terutama oleh layanan penanggulangan bencana tetapi juga oleh layanan-layanan sosial dan administratif lainnya, oleh infrastruktur publik dan jaringan Hubungan-hubungan sosial-ekonomi dan politik dengan dunia yang lebih luas. Sedikit banyak semua masyarakat praktis tergantung pada penyedia layanan eksternal.
Diperlukan pemahaman bersama dengan masyarakat akan besaran dan risiko terhadap sebuah ancaman bahaya di suatu wilayah kawasan rawan bencana melalui berbagai alat dan cara pendekatan. Dibutuhkan keahlian teknis yang spesifik berdasarkan interest masing-masing bagi berbagai pemangku kepentingan untuk menumbuhkembangkan wacana bencana sebagai ancaman bersama. Wacana tersebut sehingga akhirnnya dapat memandu masyarakat sipil untuk melakukan kegiatan dan tindakan yang mengarah kepada kebutuhan akan rasa aman dan penghargaan terhadap kehidupan mereka sendiri. Dengan harapan dapat mengurangi secara berarti kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh bencana, baik dalam hal jumlah korban jiwa dan kerusakan aset-aset sosial, ekonomi dan lingkungan yang dimiliki masyarakat dan negara-negara seperti yang tercantum dalam Ringkasan Kerangka Aksi Hyogo Tahun 2005-2015 (HFA 2005-2015). Oleh : Adjie RS, Sekjen FPBI
Bencana Alam muncul karena mayoritas manusia telah melakukan banyak hal yang merugikan alam.
BalasHapusAlam pada dasarnya diciptakan sebagai sarana untuk manusia agar lebih melestarikan ciptaan Tuhan,tetapi dewasa ini manusia lebih banyak mengeksploitasi alam hanya untuk keserakahan nafsu dunia(khususnya mereka yang berkantong tebal,dan mempunyai kekuasaan)
menurut Gilbert F. White "Banjir adalah kehendak tuhan, namun kerugian banjir adalah kehendak manusia" klik disini :http://sisikemanusiaan.blogspot.com
BalasHapusSebagai orang Aceh saya sangat setuju dengan artikel ini dan mari kita saling berbagi untuk indonesia yang lebih baik.
BalasHapusSalam