Menkes Siti Fadillah Supari meminta Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) transparan dalam menangani masalah pandemi flu babi. "WHO seharusnya mengeluarkan bukti-bukti secara transparan," katanya di Jakarta, Senin (4/5). WHO, imbuh menteri, hanya menetapkan fase tanpa memberikan penjelasan yang terang tentang penyebaran flu ini. "Mereka juga hanya mengumumkan angka kematian. Seharusnya WHO juga mengumumkan bukti viuloginya. Sekarang kan masih dalam penelitian WHO tapi tidak pernah disebutkan sampai mana."
Padahal, status pandemik itu diberikan jika sudah ada bukti tingkat mortalitas dan mobilitasnya. "Kalau seperti ini WHO melawan aturannya sendiri. Pengumuman fase pandemi tingkat lima itu kan jelas menimbulkan ketakutan di masyarakat," sebut Menteri seraya menambahkan jika dilihat dari virogenetik yang dianalisa, virus H1N1 (penyebab flu babi), belum ada patogenetik.
Rencananya, WHO akan meningkatkan fase ini menjadi fase 6. Berdasarkan definisi pada situs WHO. Fase pandemik 6 diberikan setelah penyakit ini telah terjangkit di dua benua. Saat ini, flu tersebut telah menular ke Eropa dan Asia seperti Hongkong dan Korea Selatan. Menteri Siti tidak setuju fase pandemik itu dinaikkan ke fase 6.
Dalam kesempatan itu, Menkes juga membantah Departemen Kesehatan telah menerima bantuan pinjaman sebesar US$ 30 juta untuk penanganan penyakit flu babi di Indonesia. Ditegaskannyaupaya penanggulan flu babi, dibiayai dari pos penanganan flu burung. "Kita memaksimalkan anggaran yang sudah ada," ujarnya. Untuk penangannya pun, Pemerintah menggunakan Osaltamivir atau Tamiflu yang digunakan pada flu burung.
Bisa Rugi Rp 25 Triliun
Sementara Ketua Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI), Rahmawati, mengimbau semua pihak lebih bijak dalam menyikapi persoalan wabah flu yang disebabkan virus H1N1. Penyebutan flu babi telah merugikan peternakan babi. Padahal jika peternakan babi ditutup kerugiannya bisa mencapai Rp 25 triliun.
Hal tersebut disampaikan Rahmawati dalam sarasehan membahas wabah flu yang disebabkan virus H1N1 di sebuah rumah makan di Solo, Senin. Sarasehan itu dihadiri oleh tidak kurang seratus peternak babi di Jateng dan DIY. Rahmawati mengimbau semua pihak harus bijak dalam mengambil langkah-langkah. Penamaan flu babi untuk wabah flu yang disebabkan oleh virus H1N1 telah memojokkan ternak babi. Menurutnya, langkah proporsional harus diutamakan dalam penanggulangan wabah tersebut. Sumber : Harian Global
Padahal, status pandemik itu diberikan jika sudah ada bukti tingkat mortalitas dan mobilitasnya. "Kalau seperti ini WHO melawan aturannya sendiri. Pengumuman fase pandemi tingkat lima itu kan jelas menimbulkan ketakutan di masyarakat," sebut Menteri seraya menambahkan jika dilihat dari virogenetik yang dianalisa, virus H1N1 (penyebab flu babi), belum ada patogenetik.
Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization telah meningkatkan epidemi flu ini menjadi fase lima. WHO menetapkan ini karena diduga penularannya sudah antar manusia. Kasus ini pertama kali ditemukan di London, Inggris. Seorang perawat diduga mengidap penyakit ini setelah merawat dua pasien yang baru kembali dari Meksiko.
Rencananya, WHO akan meningkatkan fase ini menjadi fase 6. Berdasarkan definisi pada situs WHO. Fase pandemik 6 diberikan setelah penyakit ini telah terjangkit di dua benua. Saat ini, flu tersebut telah menular ke Eropa dan Asia seperti Hongkong dan Korea Selatan. Menteri Siti tidak setuju fase pandemik itu dinaikkan ke fase 6.
Dalam kesempatan itu, Menkes juga membantah Departemen Kesehatan telah menerima bantuan pinjaman sebesar US$ 30 juta untuk penanganan penyakit flu babi di Indonesia. Ditegaskannyaupaya penanggulan flu babi, dibiayai dari pos penanganan flu burung. "Kita memaksimalkan anggaran yang sudah ada," ujarnya. Untuk penangannya pun, Pemerintah menggunakan Osaltamivir atau Tamiflu yang digunakan pada flu burung.
Bisa Rugi Rp 25 Triliun
Sementara Ketua Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI), Rahmawati, mengimbau semua pihak lebih bijak dalam menyikapi persoalan wabah flu yang disebabkan virus H1N1. Penyebutan flu babi telah merugikan peternakan babi. Padahal jika peternakan babi ditutup kerugiannya bisa mencapai Rp 25 triliun.
Hal tersebut disampaikan Rahmawati dalam sarasehan membahas wabah flu yang disebabkan virus H1N1 di sebuah rumah makan di Solo, Senin. Sarasehan itu dihadiri oleh tidak kurang seratus peternak babi di Jateng dan DIY. Rahmawati mengimbau semua pihak harus bijak dalam mengambil langkah-langkah. Penamaan flu babi untuk wabah flu yang disebabkan oleh virus H1N1 telah memojokkan ternak babi. Menurutnya, langkah proporsional harus diutamakan dalam penanggulangan wabah tersebut. Sumber : Harian Global
Terim akasih atas liputan ulangnya. Kebetulan saya ikut menyelidiki kasus kejadian luar biasa ILI yang melanda pondok pesantren dan sekolah sekolah di Gunung Kidul, serta sekolah2 di jogja. Bahkan kondisi yag di pondok pesantren kaum miskin tsb kondisinya mengenaskan karena daya tampung yang berlebihan dan kurangnya perhatian. Mengapa "kita" selalu terlambat, bergegap gempita baru ketika sudah banyak penderita. Agaknya kita harus belajar banyak untuk bisa tanggap lebih cepat dan melakukan tindakan pencegahan secara tepat.
BalasHapusTerima kasih atas tulisan ulangnya. Kebetulan saya ikut menyelidiki kasus KLB ILI di pondok pesantren dan sekolah-sekolah di Gunungkidul dan 1 kabupaten lainnya. Yang dipondok pesantren malah kondisinya mengenaskan akibat kelebihan daya tampung dan kurangnya perhatian. Mengapa "kita" selalu terlambat. BErgegap gempita kalau sudah ada banyak penderita. Agaknya kita harus banyak belajar agar tanggap dengan lebih cepat dan bisa melakukan tindakan pencegahan. Dan bagi kabupaten2/kota2, lain kali kalau memang KLB akui saja, jangan disembunyikan karena alasan politis. Toh untuk kepentingan masyarakat juga
BalasHapus