Dapat dibayangkan, setelah mengungsi selama hampir lebih dari 2 (dua) tahun di Pasar Porong Baru, Sidoarjo. Sejak seminggu yang lalu satu per satu pengungsi korban lumpur lapindo meninggalkan Pengungsian yang melelahkan dan penuh penderitaan itu (14/5/2009). Mulai besok mereka akan menemui penderitaan dan permasalahan baru, sebagian dari mereka akan menempati barak-barak dari triplek dan terpal darurat yang dibangun di Desa Kedungsolo, Kecamatan Porong.
Sebagian lagi pengungsi korban Lumpur yang tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Pagar Rekorlab) ini akan tinggal di rumah kontrakan. "Bagi pengungsi yang tidak mempunyai rumah kontrakan sudah kami sediakan rumah semi permanen," ujar Koordinator Pagar Rekorlab, Sunarto.
Kepindahan pengungsi dari PBP, sesuai kesepakatan 15 Mei. Sehingga pengungsi sudah mulai mengangkut barang-barangnya dari pasar. Sebagian barang-barang mereka beberapa hari terakhir sudah dipindah dengan menggunakan kendaraan sewa ataupun dengan motor yang harus bolak-balik.
Barak yang dibangun di lahan yang nantinya digunakan sebagai tempat tinggal pengungsi itu sebanyak 160 rumah semi permanen. Sebelumnya, mereka bersama aparat dari Kodim 0816 Sidoarjo beserta jajarannya sudah membangun rumah sementara di lokasi relokasi mandiri Desa Kedungsolo, Kecamatan Porong itu.
Pengungsi berharap dalam waktu dekat sudah ada pihak ketiga yang mau membangun rumah mereka dan pengungsi bisa mengangsur. "Sudah ada tawaran yang difasilitasi Bupati Sidoarjo dan Gubernur dengan REI (Real Estate Indonesia) Jatim, untuk membangun rumah bagi kami dan nantinya kami mengangsur. Tapi masih kita kongkritkan lagi," tandas Sunarto.
Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, mengatakan pihaknya dan gubernur memfasilitasi agar ada pihak ketiga yang membangun rumah untuk pengungsi. "Kami ingin kehidupan pengungsi lebih baik lagi dari sekarang, terutama masalah rumah," tandasnya.
Selain memfasilitasi dengan pihak ketiga (REI), bupati dan gubernur juga akan memfasilitasi agar nantinya PT Minarak Lapindo Jaya (Minarak) ikut andil. "Paling tidak terkait angsuran rumah, kan pengungsi belum mendapatkan 80 persen itu yang diharapkan ada titik temu dengan Minarak," tandas Win Hendrarso.
Seperti diketahui, awalnya pengungsi yang tinggal di PBP minta dibayar tunai 100 persen dan menolak pembayaran secara cash and carry yang dicicil setelah 20 persen kemudian 80 persen. Namun karena tuntutannya tidak direspons oleh Lapindo Brantas Inc, akhirnya warga melunak, yang awalnya menuntut skema pembayaran 50%:50% hingga akhirnya melunak dengan menerima skema pembayaran 20 persen dan 80 persen seperti korban sebelumnya. Walaupun sebagaian besar telah menerima ganti rugi 20 %, namun masih tersisa 18 KK yang belum menerima realisasi ganti rugi 20%. Bagaimanakah nasib mereka? Seperti nasib Ibu Suparni, keluarga beranak 11 akhirnya terpuruk dan 3 anaknya harus tercabut dari sekolah karena tidak punya biaya. Penderitaan tiada akhir...
Saat itu, warga meminta dibayar tunai agar bisa melakukan relokasi mandiri. Tujuannya agar bisa tetap tinggal bersama warga lainnya seperti saat masih tinggal di Desa Renokenongo sebelum ditengelamkan oleh Lumpur.
Usaha itu akhirnya diwujudkan warga ketika pembayaran 20 persen direalisasikan. Mereka kemudian dengan membeli lahan bekas tanaman tebu seluas 10 hektare dari PG Krembung di Desa Kedungsolo, Kecamatan Porong untuk pembangunan rumah.
Catatan : Dengan berakhirnya pengungsian ini maka Posko FPBI akan mengakhiri pula seluruh kegiatan fisik dalam aksi kemanusiaan dalam Bencana Kegagalan Teknologi Lumpur Lapindo yang penuh penderitaan dan ketidakpastian tersebut.
Sumber : new.Okezone.com
Sebagian lagi pengungsi korban Lumpur yang tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Pagar Rekorlab) ini akan tinggal di rumah kontrakan. "Bagi pengungsi yang tidak mempunyai rumah kontrakan sudah kami sediakan rumah semi permanen," ujar Koordinator Pagar Rekorlab, Sunarto.
Kepindahan pengungsi dari PBP, sesuai kesepakatan 15 Mei. Sehingga pengungsi sudah mulai mengangkut barang-barangnya dari pasar. Sebagian barang-barang mereka beberapa hari terakhir sudah dipindah dengan menggunakan kendaraan sewa ataupun dengan motor yang harus bolak-balik.
Barak yang dibangun di lahan yang nantinya digunakan sebagai tempat tinggal pengungsi itu sebanyak 160 rumah semi permanen. Sebelumnya, mereka bersama aparat dari Kodim 0816 Sidoarjo beserta jajarannya sudah membangun rumah sementara di lokasi relokasi mandiri Desa Kedungsolo, Kecamatan Porong itu.
Pengungsi berharap dalam waktu dekat sudah ada pihak ketiga yang mau membangun rumah mereka dan pengungsi bisa mengangsur. "Sudah ada tawaran yang difasilitasi Bupati Sidoarjo dan Gubernur dengan REI (Real Estate Indonesia) Jatim, untuk membangun rumah bagi kami dan nantinya kami mengangsur. Tapi masih kita kongkritkan lagi," tandas Sunarto.
Di areal relokasi mandiri seluas sekira 10 hektare sebenarnya belum seluruhnya terbangun rumah sementara. Sedangkan rumah permanen juga belum dilakukan pembangunan. Hanya beberapa hektare saja yang sudah diuruk. Mereka hanya berpindah dari penderitaan yang lama ke penderitaan yang baru.
Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, mengatakan pihaknya dan gubernur memfasilitasi agar ada pihak ketiga yang membangun rumah untuk pengungsi. "Kami ingin kehidupan pengungsi lebih baik lagi dari sekarang, terutama masalah rumah," tandasnya.
Selain memfasilitasi dengan pihak ketiga (REI), bupati dan gubernur juga akan memfasilitasi agar nantinya PT Minarak Lapindo Jaya (Minarak) ikut andil. "Paling tidak terkait angsuran rumah, kan pengungsi belum mendapatkan 80 persen itu yang diharapkan ada titik temu dengan Minarak," tandas Win Hendrarso.
Seperti diketahui, awalnya pengungsi yang tinggal di PBP minta dibayar tunai 100 persen dan menolak pembayaran secara cash and carry yang dicicil setelah 20 persen kemudian 80 persen. Namun karena tuntutannya tidak direspons oleh Lapindo Brantas Inc, akhirnya warga melunak, yang awalnya menuntut skema pembayaran 50%:50% hingga akhirnya melunak dengan menerima skema pembayaran 20 persen dan 80 persen seperti korban sebelumnya. Walaupun sebagaian besar telah menerima ganti rugi 20 %, namun masih tersisa 18 KK yang belum menerima realisasi ganti rugi 20%. Bagaimanakah nasib mereka? Seperti nasib Ibu Suparni, keluarga beranak 11 akhirnya terpuruk dan 3 anaknya harus tercabut dari sekolah karena tidak punya biaya. Penderitaan tiada akhir...
Saat itu, warga meminta dibayar tunai agar bisa melakukan relokasi mandiri. Tujuannya agar bisa tetap tinggal bersama warga lainnya seperti saat masih tinggal di Desa Renokenongo sebelum ditengelamkan oleh Lumpur.
Usaha itu akhirnya diwujudkan warga ketika pembayaran 20 persen direalisasikan. Mereka kemudian dengan membeli lahan bekas tanaman tebu seluas 10 hektare dari PG Krembung di Desa Kedungsolo, Kecamatan Porong untuk pembangunan rumah.
Catatan : Dengan berakhirnya pengungsian ini maka Posko FPBI akan mengakhiri pula seluruh kegiatan fisik dalam aksi kemanusiaan dalam Bencana Kegagalan Teknologi Lumpur Lapindo yang penuh penderitaan dan ketidakpastian tersebut.
Sumber : new.Okezone.com
bak lepas dari mulut harimau.. lalu masuk kemulut buaya... begitu lah nasib org miskin di negeri kita... nah.. apakah kita akan tinggal diam saja??
BalasHapusmari kita mulai dari yang paling kecil.. yakni diri kita sendiri...
jaaah.. lho.. ko' ceramah... hehe
salam akrab bro,,,, by wisata riau
analoginya lepas dari mulut korporasi masuk mulut pemerintah...lha sama saja...menderita...salam kemanusiaan bro...
BalasHapus