Wilayah Desa Siring Barat, Kec. Porong semakin mengkhawatirkan. Wilayah di luar peta terdampak lumpur Sidoarjo tersebut selain banyak mengeluarkan semburan lumpur baru (buble), juga mengalami penurunan tanah (land subsidence). Peristiwa amblesnya lapisan tanah di daerah tersebut semakin menekankan bahwa di Siring Barat memang sudah sangat berbahaya untuk tempat tinggal. Karena itu, pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah penanganan warga agar tidak terjadi korban.
Sejak munculnya semburan lumpur di rumah Oki Andrianto pada tanggal 26 Juni 2009 lalu , hingga terbakar tanggal 8 Juli 2009, kini semburan lumpur itu bertambah besar dan menggerus permukaan sehingga mengakibatkan amblesnya tanah di sekitarnya. Amblesnya tanah tersebut mengakibatkan sebagian bangunan gudang dan bale bengong (gazebo) di atasnya lenyap di telan bumi dan nampak rongga buble bertambah besar mencapai diameter 10 meter.
Sejak 19 hari lalu, di rumah Oki muncul semburan lumpur bercampur gas. Pada Selasa 7 Juli, semburan itu sempat terbakar dan menghanguskan sebagian rumah. Amblasnya rumah di Jalan Beringin Nomor 5 itu terjadi sekitar pukul 10.00 WIB. Mulanya gazebo yang berada di depan rumah ambruk, kemudian disusul dinding-dinding rumah dan atap rumah bagian belakang gudang. Dalam sekejap bangunan itu tak tampak lagi di permukaan tanah, dan di lokasi hanya terlihat sebuah kubangan berdiameter sekira 10 meter. Warga berhadapan langsung dengan ancaman bahaya amblesnya tanah, keracunan dan terbakar.
Amblesnya bangunan tak hanya terjadi rumah Okky, sebab rumah Siti Hidayati, tetangga depan Okky yang berjarak 20 meter juga mengalami hal yang sama. Lantai bagian depan juga bergeser ke dalam tanah. Sebenarnya sudah lama terlihat dua alur tanah ambles (land subsidence) di jalan Siring Kulon, yang dapat mengindikasikan bahwa wilayah itu sangat rawan amblesnya tanah di samping bubble dengan gas metan mencapai 100%.
Sementara itu Dodik Irmawan, Kepala Divisi Gas BPLS menjelaskan bahwa radius 2 meter sekitar amblesan tanah itu masih tetap berbahaya karena kadar gas metannya sudah over range atau di atas 100%. Material yang keluar akibat semburan itu sekitar 50 meter kubik lebih atau sama dengan kapasitas 10 dump truk Bahkan, beberapa ahli mengatakan, jika semburan terus berlangsung, rongga di dalam tanah meluas. Akibatnya, radius 500 meter dari titik semburan rumah Okky dapat ambles begitu saja. Artinya, Jalan Raya Porong sepanjang 1.000 meter juga rawan ambles.
Hal ini dapat dikaitkan dengan keterangan Staff Humas BPLS Zulkarnain, fenomena itu bisa dilihat dari sudut kemiringan bangunan rumah di sisi barat tanggul, khususnya perumahan warga Siring Barat. Bila diperhatikan, bangunan di sana tampak condong ke arah timur. Pada 2006, ia menambahkan, penurunan tanah di sekitar pusat semburan hanya 1-2 sentimeter per hari. Selanjutnya, pada 2007, meningkat menjadi 3-4 sentimeter per hari. "Pada 2008, penurunan meningkat mencapai 6-8 sentimeter per hari. Terakhir, sampai Maret 2009, penurunan sudah mencapai 10 sentimeter per hari," kata Zulkarnain. Penurunan tanah di sekitar semburan terjadi, menurut dia, karena tanah di lapisan paling luar tak mampu menahan beban lumpur yang terlampau banyak. Di sisi lain, Zulkarnain melanjutkan, lumpur terus menyembur dari dalam bumi sehingga memperbesar peluang desakan antarlapisan tanah. "Kalau lumpur terus keluar, sementara beban lumpur banyak, ditambah beban tanggul, otomatis tanah akan menurun," katanya.
Upaya Evakuasi dan Relokasi
Walaupun terlambat respon pemerintah dan BPLS terhadap situasi dan kondisi Siring Kulon, nampaknya upaya evakuasi dan relokasi akan berbuntut dengan ketidakpastian tentang skema ganti rugi asset warga korban.
Mahmud Marzuki, salah satu perwakilan warga Siring Barat, Minggu (12/7/2009), mengatakan relokasi permanen salah satu alternatif penyelesaian ganti rugi. Warga dibuatkan rumah di satu kawasan dan aset warga tetap diperhitungkan.
Selain menyediakan lahan relokasi permanen bagi warga..Pemerintah juga harus mempertimbangkan masa depan warga terkait mata pencaharian mereka bila nanti diungsikan keluar dari Siring. Selain itu, aset tanah dan rumah warga juga harus dijamin pemerintah dan harus diganti. Pemerintah, lanjut dia, hendaknya memberi solusi tuntas terhadap kondisi di Siring dan dua desa lainnya, yaitu Jatirejo Barat dan Desa Mindi. Karena kawasan itu tidak layak huni akibat banyaknya semburan gas dan lumpur. Skema bantuan sosial dari pemerintah dirasa belum menjadi penyelesaian yang utuh.
Skema Kontrak dan Jadup
Skema kontrak, jadup dan biaya boyongan yang dirancang oleh Tim Forum Peduli Bencana Indoenesia (FPBI) bersama Forum Silaturahmi Rakyat Korban Lumpur Lapindo (FSRKLL) pada tanggal 3 Juli 2006 telah dijadikan model oleh pemerintah melalui Perpres 14 dan Revisinya serta UU No 41 untuk penanganan darurat korban sebagai bentuk lain dari pengungsian. Skema ini pernah dilakukan juga untuk korban Situ Gintung beberapa waktu lalu olh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Begitu juga dalam penanganan darurat korban di Siring Kulon, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) telah menyediakan skema bantuan sosial bagi 2.174 warga di Siring Barat, Jatirejo Barat dan Mindi, berupa uang kontrak rumah Rp2,5 juta setahun per kepala keluarga (KK), uang evakuasi Rp500.000 per KK, dan uang jatah hidup Rp300.000 per bulan per jiwa selama enam bulan.
Semburan Baru Sulit Dihentikan
Terkait kondisi semburan gas dan lumpur di Siring Barat, Kepala Divisi Gas pada BPLS Dodi Irmawan, mengaku pihaknya kesulitan untuk menghentikan semburan lumpur baru itu. BPLS hanya menyalurkan semburan gas dan lumpur melalui pipa-pipa pengaman.
Pihak BPLS, sampai kini belum berani melakukan pengukuran karena kondisi di area itu belum aman. Gas mudah terbakar masih banyak keluar secara fluktuatif. Kadangkala, sampai diatas 100 persen, terkadang menurun.
Pantauan di lapangan, sampai kini ombak semburan di halaman tengah rumah Okky masih terus besar. Dan area pintu masuk rumah Okky juga diberikan police line. Para pengunjung tak diperkenankan mendekat atau masuk ke lokasi.
Pasca terjadinya amblesan, lanjutnya, warga Siring Barat banyak yang panik berhamburan keluar termasuk dirianya. Hidayati lansung memilih memindahkan semua isi rumah dari pada bertahan di Siring Barat. "Saya putuskan untuk mengungsi ke Wunut rumah saudara," tuturnya dengan bergegas kemasi isi rumahnya. Sementara staf humas BPLS menghimbau kepada warga untuk mengungsi dan menerima skema tawaran dari pemerintah berupa bansos.
Relokasi Yang Tertunda
Selanjutnya, dalam waktu dua tahun itu pemerintah akan membangun rumah sehat sederhana (RSh) untuk resettlement bagi warga di 9 RT tersebut. Saat itu, biaya melakukan penanganan sosial itu diperkirakan menghabiskan Rp 46,8 miliar. Sayangnya, sudah setahun rekomendasi itu dikeluarkan, belum ada tindak lanjut. Chairul menambahkan, Pemprov Jatim siap membantu langkah-langkah yang akan diambil oleh BPLS. Sebab bagaimana pun juga, warga di wilayah tersebut merupakan warga Jatim.
Gubernur Jatim Soekarwo sebelumnya juga meninjau langsung lokasi desa Siring bagian Barat. Dari pembicaraan dengan warga setempat, lanjutnya, sebenarnya warga siap menerima bantuan sosial dan segera meninggalkan lokasi desa mereka demi keamanan dan kenyamanan.
Tentang jaminan asset warga yang ditinggalkan warga, Bupati sidoarjo mengaku masih akan memperjuangkannya ke pemerintah pusat. Untuk diketahui, desa yang terdiri dari 315 KK ini berada di luar peta terdampak lumpur dan tidak mendapat ganti rugi skema Lapindo. Namun pemerintah lewat UU nomor 41 tahun 2008 tentang APBN 2009 telah memasukkan 4 RT tersebut bersama 5 RT lainnya di 3 desa untuk mendapatkan talangan bantuan uang.
Sekitar 55 Kepala Keluarga (KK) penghuni RT 3 RW 1 Desa Siring Barat, Porong, Sidoarjo, Selasa (14/07) siang bersiap-siap dievakusi ke tempat lebih aman. Warga korban diberikan kesempatan untuk mengevakusi barangnya ke dua tempat yaitu ke Kantor Kecamatan Porong dan bekas Gedung Pengadilan di Taman atau ke rumah kerabatnya yang terdekat. Telah disiapkan di sekitar Siring Barat ini kendaraan truk dari Dinas Kebersihan Pemkab Sidoarjo dan pickup.
Staf Humas BPLS, Ahmad Kusairi, Selasa, mengatakan, penduduk empat RT yang akan dievakuasi tersebut masing-masing RT 1, 2, 3 dan 12 yang ada dalam radius bahaya terkena amblesnya tanah dari rumah milik Oky Andriyanto warga setempat.
Ditiga desa yaiu Siring Jatirejo dan Mindi itu terdapat 2.174 warga. Dari jumlah itu, sampai saat ini baru 756 warga yang mendaftar ke BPLS. Berdasar UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Nomor 41 tahun 2008, tentang APBN tahun 2009, warga Siring telah dimasukkan sebagai penerima bantuan sosial. Skema bantuan sosial yang dibiayai APBN itu disalurkan melalui BPLS.
Bantuan dana sosial yang siap dikucurkan sekitar Rp 60 miliar. Perincianya, biaya kontrakkan sebesar Rp 2,5 juta per-kepala keluarga (KK), biaya evakuasi sebesar Rp 500 ribu per-KK dan bantuan jaminan hidup (Jadup) Rp 300 ribu perjiwa, selama enam bulan."Dana itu ada pada kita. Jadi secepatnya warga menyelesaikan administrasinya," ucapnya.
Indikator Tolak Bansos
Sementara itu, warga RT 3 RW 1 Kelurahan Siring, Kec. Porong, yang berada di daerah rawan bahaya bubble (semburan lumpur dan gas), Rabu (15/7) malam, menolak bantuan sosial (bansos) yang dikucurkan pemerintah pusat. Sebanyak 52 kepala keluarga (KK) yang sejak pagi kemarin sudah pegang buku rekening BRI untuk pencairan bansos dari APBN tak setuju dengan klausul perjanjian.
Pertemuan dengan pihak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) di Kantor Kelurahan Siring, sekitar pukul 19.30 tadi malam itu pun panas. Warga tidak setuju dengan beberapa klausul perjanjian sebagai syarat pencairan bansos. Salah satunya BPLS dinilai tak bisa memberi jaminan keamanan RT 3 Siring dan kembali layak huni.
Ke-52 KK tersebut di Kantor Kelurahan Siring, tadi malam, awalnya masing-masing diberi draft surat perjanjian oleh para staf Deputi Bidang Sosial BPLS. Para staf itu kemudian bergantian menjelaskan klausul yang tercantum dalam pasal-pasal surat perjanjian itu. Begitu penjelasan selesai, langsung muncul komplain.
Komplain pertama diungkapkan Ketua RT 3 Gandu Suyanto. Dia memermasalahkan klausul dalam pasal 4, 5, dan 7. Dalam pasal 4 poin c disebutkan bahwa warga dibenarkan menempati kembali tempat tinggalnya di Siring, setelah ada pernyataan aman dan layak huni, dari pihak yang berwenang.
Gandu yang mewakili warga mengungkapkan keberatannya karena tidak ada jaminan dari BPLS apakah tempat tinggal mereka akan dapat diamankan dari bencana yang terjadi dan bisa kembali layak huni.
Sementara dalam pasal 5 disebutkan bahwa warga berkewajiban membentuk pengamanan swakarsa sendiri tanpa keterlibatan BPLS, untuk mengamankan aset mereka. ’’Yang kami permasalahkan, dalam pasal 7 ditegaskan bahwa warga yang tak melaksanakan pasal 4 dan 5, menanggung sendiri segala risiko yang terjadi,” kata GanduSampai pukul 08.00 pagi tadi, baru 8 KK yang bersedia teken surat perjanjian.
Pendapat Tim Peneliti
Menurut Tantra, ada sembilan desa yang akan diteliti. Antara lain Siring, Jatirejo, Mindi, Pamotan, Gedang, Ketapang, Glagah Arum, Gempol Sari, dan Plumbon. Berdasarkan penelitian sebelumnya, sembilan desa ini yang paling riskan terkena dampak paling parah akibat semburan lumpur. Namun, kondisi paling parah ada di sembilan RT di Siring, Jatirejo, dan Mindi.
Sembilan RT tersebut, kata Tantra, sudah ditetapkan sebagai zona merah pada penelitian sebelumnya. Termasuk rumah Okky yang Selasa (14/7) lalu amblas akibat munculnya bubble baru. Tantra menambahkan, evaluasi yang akan dilakukan meliputi pemetaan kondisi lingkungan udara dan air akibat semburan lumpur, tingkat kerusakan rumah penduduk, tingkat penurunan tanah, dampak kesehatan serta dampak sosial bagi warga di sana. Tim masih tetap sama seperti penelitian sebelumnya dan terbagi dalam empat bidang.
Untuk penelitian penurunan tanah diserahkan pada Dr Teguh dari ITS dan Ir Irwan Susilo MT dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Masalah semburan gas, lumpur dan air ditangani Ir Amin Widodo MSc dari ITS dan Ir M. Irwan Karmawan dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Kondisi pencemaran lingkungan diteliti Ir Tantowi MSc dari ITS dan peneliti dari Unair, Sudarmaji SKM M.Kes. Sementara penilaian aset dan ganti rugi ditangani Dr Muslich Anshori SE MSc Ak dari Unair dan Dra Agnestuti MSc dari ITS.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITS ini menambahkan, tim evaluasi sebenarnya sudah menetapkan zona hijau, kuning, dan merah berdasarkan hasil penelitian tahun lalu. Zona hijau berarti daerah tersebut masih aman untuk dihuni. Zona kuning artinya penduduk di tempat tersebut harus waspada.
Tim evaluasi juga menyarankan agar Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menempatkan pos pemantauan di zona kuning. Fungsinya untuk memperingatkan warga agar segera mengungsi jika kondisi tiba-tiba berbahaya.
’’Tapi saran kami tidak ditanggapi. Seandainya pemerintah menempatkan pos pantau, mungkin kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, seperti rumah yang terbakar itu, bisa dihindari,” kata Tantra yang belum bisa memastikan tim akan turun karena harus mengajukan proposal dulu ke Pemprov Jatim.
“Tahun lalu, penelitian kami lakukan selama tiga bulan, termasuk selama sebulan penuh di lapangan. Sekarang mungkin untuk penelitian di lapangan saja bisa sampai dua bulan,” kata Tantra. Dia berharap, hasil penelitian tim evaluasi kali ini benar-benar diperhatikan oleh BPLS maupun Pemprov sehingga lebih banyak warga yang bisa diselamatkan.
Sejak munculnya semburan lumpur di rumah Oki Andrianto pada tanggal 26 Juni 2009 lalu , hingga terbakar tanggal 8 Juli 2009, kini semburan lumpur itu bertambah besar dan menggerus permukaan sehingga mengakibatkan amblesnya tanah di sekitarnya. Amblesnya tanah tersebut mengakibatkan sebagian bangunan gudang dan bale bengong (gazebo) di atasnya lenyap di telan bumi dan nampak rongga buble bertambah besar mencapai diameter 10 meter.
Sejak 19 hari lalu, di rumah Oki muncul semburan lumpur bercampur gas. Pada Selasa 7 Juli, semburan itu sempat terbakar dan menghanguskan sebagian rumah. Amblasnya rumah di Jalan Beringin Nomor 5 itu terjadi sekitar pukul 10.00 WIB. Mulanya gazebo yang berada di depan rumah ambruk, kemudian disusul dinding-dinding rumah dan atap rumah bagian belakang gudang. Dalam sekejap bangunan itu tak tampak lagi di permukaan tanah, dan di lokasi hanya terlihat sebuah kubangan berdiameter sekira 10 meter. Warga berhadapan langsung dengan ancaman bahaya amblesnya tanah, keracunan dan terbakar.
Amblesnya bangunan tak hanya terjadi rumah Okky, sebab rumah Siti Hidayati, tetangga depan Okky yang berjarak 20 meter juga mengalami hal yang sama. Lantai bagian depan juga bergeser ke dalam tanah. Sebenarnya sudah lama terlihat dua alur tanah ambles (land subsidence) di jalan Siring Kulon, yang dapat mengindikasikan bahwa wilayah itu sangat rawan amblesnya tanah di samping bubble dengan gas metan mencapai 100%.
Sementara itu Dodik Irmawan, Kepala Divisi Gas BPLS menjelaskan bahwa radius 2 meter sekitar amblesan tanah itu masih tetap berbahaya karena kadar gas metannya sudah over range atau di atas 100%. Material yang keluar akibat semburan itu sekitar 50 meter kubik lebih atau sama dengan kapasitas 10 dump truk Bahkan, beberapa ahli mengatakan, jika semburan terus berlangsung, rongga di dalam tanah meluas. Akibatnya, radius 500 meter dari titik semburan rumah Okky dapat ambles begitu saja. Artinya, Jalan Raya Porong sepanjang 1.000 meter juga rawan ambles.
Menurut kajian Tim FPBI terjadinya penurunan tanah di Siring Kulon berhubungan dengan penurunan tanah di pusat semburan (big hole) yang mencapai 47 meter lebih. Penurunan tanah di pusat semburan menimbulkan gaya tarik terhadap kawasan sekitarnya sehingga terjadi penurunan tanah berupa patahan local (local fracture) yang menyebabkan desakan gas dari kedalaman tanah melalui aliran air bawah tanah.
Hal ini dapat dikaitkan dengan keterangan Staff Humas BPLS Zulkarnain, fenomena itu bisa dilihat dari sudut kemiringan bangunan rumah di sisi barat tanggul, khususnya perumahan warga Siring Barat. Bila diperhatikan, bangunan di sana tampak condong ke arah timur. Pada 2006, ia menambahkan, penurunan tanah di sekitar pusat semburan hanya 1-2 sentimeter per hari. Selanjutnya, pada 2007, meningkat menjadi 3-4 sentimeter per hari. "Pada 2008, penurunan meningkat mencapai 6-8 sentimeter per hari. Terakhir, sampai Maret 2009, penurunan sudah mencapai 10 sentimeter per hari," kata Zulkarnain. Penurunan tanah di sekitar semburan terjadi, menurut dia, karena tanah di lapisan paling luar tak mampu menahan beban lumpur yang terlampau banyak. Di sisi lain, Zulkarnain melanjutkan, lumpur terus menyembur dari dalam bumi sehingga memperbesar peluang desakan antarlapisan tanah. "Kalau lumpur terus keluar, sementara beban lumpur banyak, ditambah beban tanggul, otomatis tanah akan menurun," katanya.
Upaya Evakuasi dan Relokasi
Walaupun terlambat respon pemerintah dan BPLS terhadap situasi dan kondisi Siring Kulon, nampaknya upaya evakuasi dan relokasi akan berbuntut dengan ketidakpastian tentang skema ganti rugi asset warga korban.
Mahmud Marzuki, salah satu perwakilan warga Siring Barat, Minggu (12/7/2009), mengatakan relokasi permanen salah satu alternatif penyelesaian ganti rugi. Warga dibuatkan rumah di satu kawasan dan aset warga tetap diperhitungkan.
Selain menyediakan lahan relokasi permanen bagi warga..Pemerintah juga harus mempertimbangkan masa depan warga terkait mata pencaharian mereka bila nanti diungsikan keluar dari Siring. Selain itu, aset tanah dan rumah warga juga harus dijamin pemerintah dan harus diganti. Pemerintah, lanjut dia, hendaknya memberi solusi tuntas terhadap kondisi di Siring dan dua desa lainnya, yaitu Jatirejo Barat dan Desa Mindi. Karena kawasan itu tidak layak huni akibat banyaknya semburan gas dan lumpur. Skema bantuan sosial dari pemerintah dirasa belum menjadi penyelesaian yang utuh.
Skema Kontrak dan Jadup
Skema kontrak, jadup dan biaya boyongan yang dirancang oleh Tim Forum Peduli Bencana Indoenesia (FPBI) bersama Forum Silaturahmi Rakyat Korban Lumpur Lapindo (FSRKLL) pada tanggal 3 Juli 2006 telah dijadikan model oleh pemerintah melalui Perpres 14 dan Revisinya serta UU No 41 untuk penanganan darurat korban sebagai bentuk lain dari pengungsian. Skema ini pernah dilakukan juga untuk korban Situ Gintung beberapa waktu lalu olh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Begitu juga dalam penanganan darurat korban di Siring Kulon, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) telah menyediakan skema bantuan sosial bagi 2.174 warga di Siring Barat, Jatirejo Barat dan Mindi, berupa uang kontrak rumah Rp2,5 juta setahun per kepala keluarga (KK), uang evakuasi Rp500.000 per KK, dan uang jatah hidup Rp300.000 per bulan per jiwa selama enam bulan.
Semburan Baru Sulit Dihentikan
Terkait kondisi semburan gas dan lumpur di Siring Barat, Kepala Divisi Gas pada BPLS Dodi Irmawan, mengaku pihaknya kesulitan untuk menghentikan semburan lumpur baru itu. BPLS hanya menyalurkan semburan gas dan lumpur melalui pipa-pipa pengaman.
Pihak BPLS, sampai kini belum berani melakukan pengukuran karena kondisi di area itu belum aman. Gas mudah terbakar masih banyak keluar secara fluktuatif. Kadangkala, sampai diatas 100 persen, terkadang menurun.
Pantauan di lapangan, sampai kini ombak semburan di halaman tengah rumah Okky masih terus besar. Dan area pintu masuk rumah Okky juga diberikan police line. Para pengunjung tak diperkenankan mendekat atau masuk ke lokasi.
Pasca terjadinya amblesan, lanjutnya, warga Siring Barat banyak yang panik berhamburan keluar termasuk dirianya. Hidayati lansung memilih memindahkan semua isi rumah dari pada bertahan di Siring Barat. "Saya putuskan untuk mengungsi ke Wunut rumah saudara," tuturnya dengan bergegas kemasi isi rumahnya. Sementara staf humas BPLS menghimbau kepada warga untuk mengungsi dan menerima skema tawaran dari pemerintah berupa bansos.
Relokasi Yang Tertunda
Selanjutnya, dalam waktu dua tahun itu pemerintah akan membangun rumah sehat sederhana (RSh) untuk resettlement bagi warga di 9 RT tersebut. Saat itu, biaya melakukan penanganan sosial itu diperkirakan menghabiskan Rp 46,8 miliar. Sayangnya, sudah setahun rekomendasi itu dikeluarkan, belum ada tindak lanjut. Chairul menambahkan, Pemprov Jatim siap membantu langkah-langkah yang akan diambil oleh BPLS. Sebab bagaimana pun juga, warga di wilayah tersebut merupakan warga Jatim.
Gubernur Jatim Soekarwo sebelumnya juga meninjau langsung lokasi desa Siring bagian Barat. Dari pembicaraan dengan warga setempat, lanjutnya, sebenarnya warga siap menerima bantuan sosial dan segera meninggalkan lokasi desa mereka demi keamanan dan kenyamanan.
Tentang jaminan asset warga yang ditinggalkan warga, Bupati sidoarjo mengaku masih akan memperjuangkannya ke pemerintah pusat. Untuk diketahui, desa yang terdiri dari 315 KK ini berada di luar peta terdampak lumpur dan tidak mendapat ganti rugi skema Lapindo. Namun pemerintah lewat UU nomor 41 tahun 2008 tentang APBN 2009 telah memasukkan 4 RT tersebut bersama 5 RT lainnya di 3 desa untuk mendapatkan talangan bantuan uang.
Sekitar 55 Kepala Keluarga (KK) penghuni RT 3 RW 1 Desa Siring Barat, Porong, Sidoarjo, Selasa (14/07) siang bersiap-siap dievakusi ke tempat lebih aman. Warga korban diberikan kesempatan untuk mengevakusi barangnya ke dua tempat yaitu ke Kantor Kecamatan Porong dan bekas Gedung Pengadilan di Taman atau ke rumah kerabatnya yang terdekat. Telah disiapkan di sekitar Siring Barat ini kendaraan truk dari Dinas Kebersihan Pemkab Sidoarjo dan pickup.
Staf Humas BPLS, Ahmad Kusairi, Selasa, mengatakan, penduduk empat RT yang akan dievakuasi tersebut masing-masing RT 1, 2, 3 dan 12 yang ada dalam radius bahaya terkena amblesnya tanah dari rumah milik Oky Andriyanto warga setempat.
Ditiga desa yaiu Siring Jatirejo dan Mindi itu terdapat 2.174 warga. Dari jumlah itu, sampai saat ini baru 756 warga yang mendaftar ke BPLS. Berdasar UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Nomor 41 tahun 2008, tentang APBN tahun 2009, warga Siring telah dimasukkan sebagai penerima bantuan sosial. Skema bantuan sosial yang dibiayai APBN itu disalurkan melalui BPLS.
Bantuan dana sosial yang siap dikucurkan sekitar Rp 60 miliar. Perincianya, biaya kontrakkan sebesar Rp 2,5 juta per-kepala keluarga (KK), biaya evakuasi sebesar Rp 500 ribu per-KK dan bantuan jaminan hidup (Jadup) Rp 300 ribu perjiwa, selama enam bulan."Dana itu ada pada kita. Jadi secepatnya warga menyelesaikan administrasinya," ucapnya.
Indikator Tolak Bansos
Sementara itu, warga RT 3 RW 1 Kelurahan Siring, Kec. Porong, yang berada di daerah rawan bahaya bubble (semburan lumpur dan gas), Rabu (15/7) malam, menolak bantuan sosial (bansos) yang dikucurkan pemerintah pusat. Sebanyak 52 kepala keluarga (KK) yang sejak pagi kemarin sudah pegang buku rekening BRI untuk pencairan bansos dari APBN tak setuju dengan klausul perjanjian.
Pertemuan dengan pihak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) di Kantor Kelurahan Siring, sekitar pukul 19.30 tadi malam itu pun panas. Warga tidak setuju dengan beberapa klausul perjanjian sebagai syarat pencairan bansos. Salah satunya BPLS dinilai tak bisa memberi jaminan keamanan RT 3 Siring dan kembali layak huni.
Ke-52 KK tersebut di Kantor Kelurahan Siring, tadi malam, awalnya masing-masing diberi draft surat perjanjian oleh para staf Deputi Bidang Sosial BPLS. Para staf itu kemudian bergantian menjelaskan klausul yang tercantum dalam pasal-pasal surat perjanjian itu. Begitu penjelasan selesai, langsung muncul komplain.
Komplain pertama diungkapkan Ketua RT 3 Gandu Suyanto. Dia memermasalahkan klausul dalam pasal 4, 5, dan 7. Dalam pasal 4 poin c disebutkan bahwa warga dibenarkan menempati kembali tempat tinggalnya di Siring, setelah ada pernyataan aman dan layak huni, dari pihak yang berwenang.
Gandu yang mewakili warga mengungkapkan keberatannya karena tidak ada jaminan dari BPLS apakah tempat tinggal mereka akan dapat diamankan dari bencana yang terjadi dan bisa kembali layak huni.
Sementara dalam pasal 5 disebutkan bahwa warga berkewajiban membentuk pengamanan swakarsa sendiri tanpa keterlibatan BPLS, untuk mengamankan aset mereka. ’’Yang kami permasalahkan, dalam pasal 7 ditegaskan bahwa warga yang tak melaksanakan pasal 4 dan 5, menanggung sendiri segala risiko yang terjadi,” kata GanduSampai pukul 08.00 pagi tadi, baru 8 KK yang bersedia teken surat perjanjian.
Pendapat Tim Peneliti
Menurut Tantra, ada sembilan desa yang akan diteliti. Antara lain Siring, Jatirejo, Mindi, Pamotan, Gedang, Ketapang, Glagah Arum, Gempol Sari, dan Plumbon. Berdasarkan penelitian sebelumnya, sembilan desa ini yang paling riskan terkena dampak paling parah akibat semburan lumpur. Namun, kondisi paling parah ada di sembilan RT di Siring, Jatirejo, dan Mindi.
Sembilan RT tersebut, kata Tantra, sudah ditetapkan sebagai zona merah pada penelitian sebelumnya. Termasuk rumah Okky yang Selasa (14/7) lalu amblas akibat munculnya bubble baru. Tantra menambahkan, evaluasi yang akan dilakukan meliputi pemetaan kondisi lingkungan udara dan air akibat semburan lumpur, tingkat kerusakan rumah penduduk, tingkat penurunan tanah, dampak kesehatan serta dampak sosial bagi warga di sana. Tim masih tetap sama seperti penelitian sebelumnya dan terbagi dalam empat bidang.
Untuk penelitian penurunan tanah diserahkan pada Dr Teguh dari ITS dan Ir Irwan Susilo MT dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Masalah semburan gas, lumpur dan air ditangani Ir Amin Widodo MSc dari ITS dan Ir M. Irwan Karmawan dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Kondisi pencemaran lingkungan diteliti Ir Tantowi MSc dari ITS dan peneliti dari Unair, Sudarmaji SKM M.Kes. Sementara penilaian aset dan ganti rugi ditangani Dr Muslich Anshori SE MSc Ak dari Unair dan Dra Agnestuti MSc dari ITS.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITS ini menambahkan, tim evaluasi sebenarnya sudah menetapkan zona hijau, kuning, dan merah berdasarkan hasil penelitian tahun lalu. Zona hijau berarti daerah tersebut masih aman untuk dihuni. Zona kuning artinya penduduk di tempat tersebut harus waspada.
Tim evaluasi juga menyarankan agar Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menempatkan pos pemantauan di zona kuning. Fungsinya untuk memperingatkan warga agar segera mengungsi jika kondisi tiba-tiba berbahaya.
’’Tapi saran kami tidak ditanggapi. Seandainya pemerintah menempatkan pos pantau, mungkin kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, seperti rumah yang terbakar itu, bisa dihindari,” kata Tantra yang belum bisa memastikan tim akan turun karena harus mengajukan proposal dulu ke Pemprov Jatim.
“Tahun lalu, penelitian kami lakukan selama tiga bulan, termasuk selama sebulan penuh di lapangan. Sekarang mungkin untuk penelitian di lapangan saja bisa sampai dua bulan,” kata Tantra. Dia berharap, hasil penelitian tim evaluasi kali ini benar-benar diperhatikan oleh BPLS maupun Pemprov sehingga lebih banyak warga yang bisa diselamatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda Peduli