Tiga tahun sudah, aliran Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo terus meluas dan memberikan potensi ancaman bagi masyarakat dan infrastruktur di luar tanggul karena semburan lumpur purba itu belum juga bisa diatasi . Proses penanggulangannya masih menggunakan mekanisme proyek bisnis sehingga semua hanya dilakukan tanpa memperhitungkan analisa ancaman, kerentanan dan risiko bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Salah satu contoh yang menunjukkan kemunduran penanganan paling mencolok adalah tanggul di pusat semburan untuk mengendalikan aliran lumpur telah musnah sejak awal Maret 2009. Diperlukan konsep pemikiran Pengurangan Risiko Bencana dengan membangun Kanal Terpadu (Tim FPBI pernah mengusulkan pada Timnas PLS pada tahun 2007).
Tanggul berdiameter 50 meter yang disebut tanggul cincin itu kini sudah tak terlihat karena tak ada pengerjaan untuk menambah ketinggian dengan alasan Lapindo mengalami kebangkrutan. Akibatnya, aliran lumpur semakin sulit dikendalikan. Pengaliran ke Kali Porong yang semula menjadi pilihan kini tak lagi bisa dilakukan.
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mencatat, volume lumpur yang menyembur dengan debit 100 ribu meter kubik per hari atau setara 10.040 truk pengangkut pasir dan batu itu kini cenderung mengalir ke utara atau arah kota Sidoarjo. Penyebabnya, tingkat penurunan tanah (land subsidence) di pusat semburan dan di utara tanggul sangat besar mencapai 47 meter. Di samping itu ketinggian kepundan di pusat semburan sudah mencapai ± 21 meter. Akibatnya, permukaan yang mengarah ke Kali Porong lebih tinggi sehingga lumpur cenderung mengalir ke utara.
Melihat potensi ancaman tersebut seharusnya BPLS dan PT Minarak Lapindo serta Pemerintah setempat harus duduk bersama untuk mencari solusi terbaik. Pengurukan dengan sirtu saat ini mempunyai keterbatasan yaitu dibutuhkan biaya yang besar dan lokasi sumber sirtu juga sudah berkurang yang juga memnimbulkan kerusakan lingkungan di daerah lain. Kedua hal tersebut telah terbukti menjadi hambatan utama penangulangan Lumpur Lapindo agar tidak menambah deretan korban baru.
Apabila tanggul tersebut jebol karena tidak kuat menahan lumpur dan di tambah dorongan energi dari kemiringan kepundan, maka yang akan terjadi kemungkinannya adalah skenario Situ Gintung II. Banjir bandang lumpur panas ke segala arah dan akan menerjang apapun yang ada di depannya. Seharusnya BPLS belajar dari jebolnya tanggul Siring pada saat tanggal 10 Agustus 2006, derasnya aliran lumpur hampir telah merobohkan pagar rumah dan makam di Desa Siring waktu itu serta hampir saja merobohkan rumah penduduk.
Mencoba Kanal Terpadu
Tim FPBI pada tahun 2007 pernah mengajukan usulan untuk pembuatan Kanal Terpadu ke pihak Timnas, namun tidak mendapatkan tanggapan dengan seksama. Kanal Terpadu dapat difungsikan mengelola aliran lumpur dengan meminimalisasi kebutuhan tanggul yang notabene tidak membutuhkan biaya dan bahan sirtu dalam jumlah besar.
Skema Kanal terpadu antara lain :
Pembuatan Kanal Terpadu tersebut diperkirakan membutuhkan baiaya lebih kecil dibanding dengan pekerjaan tanggul yang tiada henti tersebut dan menguntungkan beberapa pihak itu.
Tanggul berdiameter 50 meter yang disebut tanggul cincin itu kini sudah tak terlihat karena tak ada pengerjaan untuk menambah ketinggian dengan alasan Lapindo mengalami kebangkrutan. Akibatnya, aliran lumpur semakin sulit dikendalikan. Pengaliran ke Kali Porong yang semula menjadi pilihan kini tak lagi bisa dilakukan.
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mencatat, volume lumpur yang menyembur dengan debit 100 ribu meter kubik per hari atau setara 10.040 truk pengangkut pasir dan batu itu kini cenderung mengalir ke utara atau arah kota Sidoarjo. Penyebabnya, tingkat penurunan tanah (land subsidence) di pusat semburan dan di utara tanggul sangat besar mencapai 47 meter. Di samping itu ketinggian kepundan di pusat semburan sudah mencapai ± 21 meter. Akibatnya, permukaan yang mengarah ke Kali Porong lebih tinggi sehingga lumpur cenderung mengalir ke utara.
Melihat potensi ancaman tersebut seharusnya BPLS dan PT Minarak Lapindo serta Pemerintah setempat harus duduk bersama untuk mencari solusi terbaik. Pengurukan dengan sirtu saat ini mempunyai keterbatasan yaitu dibutuhkan biaya yang besar dan lokasi sumber sirtu juga sudah berkurang yang juga memnimbulkan kerusakan lingkungan di daerah lain. Kedua hal tersebut telah terbukti menjadi hambatan utama penangulangan Lumpur Lapindo agar tidak menambah deretan korban baru.
Apabila tanggul tersebut jebol karena tidak kuat menahan lumpur dan di tambah dorongan energi dari kemiringan kepundan, maka yang akan terjadi kemungkinannya adalah skenario Situ Gintung II. Banjir bandang lumpur panas ke segala arah dan akan menerjang apapun yang ada di depannya. Seharusnya BPLS belajar dari jebolnya tanggul Siring pada saat tanggal 10 Agustus 2006, derasnya aliran lumpur hampir telah merobohkan pagar rumah dan makam di Desa Siring waktu itu serta hampir saja merobohkan rumah penduduk.
Mencoba Kanal Terpadu
Tim FPBI pada tahun 2007 pernah mengajukan usulan untuk pembuatan Kanal Terpadu ke pihak Timnas, namun tidak mendapatkan tanggapan dengan seksama. Kanal Terpadu dapat difungsikan mengelola aliran lumpur dengan meminimalisasi kebutuhan tanggul yang notabene tidak membutuhkan biaya dan bahan sirtu dalam jumlah besar.
Skema Kanal terpadu antara lain :
- Pada pusat semburan (big hole) di pasang semacam tabung raksasa dari besi atau semen cor sesuai ketinggian semburan lumpur dan di buat coakan yang mengarah ke selatan.
- Kemudian dibuat kanal dengan sambungan elastis dari semen atau bahan lainnya (misalnya campuran lumpur dan semen) dari coakan tersebut ke Kali Porong dengan konstruksi semi ponton (terapung) yang diperkuat dengan tiang pancang atau dudukan dari tanggul sirtu. Pembuatan kanal tersebut menyesuaikan dengan perbedaan ketinggian antara semburan dengan Kali Porong, dimana kanal lebih tinggi di pusat semburan dibanding dengan tanggul Kali Porong dengan perbedaan ± 20 meter.
- Pemasangan pompa air untuk mengalirkan dengan melalui pipa dari Kali Porong ke pusat semburan yang berguna untuk mempertahankan likuiditas lumpur sehingga lumpur akan mengalir dengan sendirinya ke Kali Porong.
- Pembangunan Bendung Gerak pada Pintu Air di Kali Porong tepat pada pintu air Jabon yang berfungsi untuk menggelontor endapan lumpur di Kali Porong dengan memanfaatkan volume air tertentu dari Kali porong dan Kali mati yang di perdalam dengan pengerukan. Pintu Bendung Gerak akan secara otomatis terbuka apabila mencapai volume tertentu yang cukup untuk menggelontor lumpur ke sepanjang Kali Porong.
- Penempatan Kapal Keruk di sepanjang aliran Kali Porong sampai muara yang berfungsi untuk mengurangi endapan lumpur di Kali Porong dengan menaikkanya ke sepanjang tanggul Kali Porong. Endapan ini akan dapat difungsikan untuk mempertinggi tanggul-tanggul pada pertambakan maupun urugan jalan.
Pembuatan Kanal Terpadu tersebut diperkirakan membutuhkan baiaya lebih kecil dibanding dengan pekerjaan tanggul yang tiada henti tersebut dan menguntungkan beberapa pihak itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda Peduli